Injeksi
Sediaan injeksi adalah sediaan steril, berupa
larutan, suspensi, emulsi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan
dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke
dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir (Depkes RI, 1995 danDra.Rr.Sulistiyaningsih, Apt).
Sediaan
injeksi diberikan jika diinginkan kerja obat yang cepat, bila penderita tidak
dapat diajak kerja sama dengan baik, tidak sadar, tidak tahan menerima
pengobatan secara oral atau obat tidak efektif bila diberikan dengan cara lain
(Ansel,1989 dan Dra.Rr.Sulistiyaningsih, Apt).
PERSYARATAN SEDIAAN INJEKSI
Kerja
optimal dari larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya akan diperoleh
jika memenuhi persyaratan,yaitu:
1. Aman
Injeksi tidak boleh menyebabkan iritasi jaringan
atau menimbulkan efek toksik.
2. Harus
jernih
Injeksi yang berupa larutan harus jernih dan bebas
dari partikel asing, serat dan benang. Pada umumnya kejernihan dapat diperoleh
dengan penyaringan. Alat-alat penyaringan harus bersih dan dicuci dengan baik
sehingga tidak terdapat partikel dalam larutan. Penting untuk menyadari bahwa
larutan yang jernih diperoleh dari wadah dan tutup wadah yang bersih, steril
dan tidak melepaskan partikel.
3.
Sedapat mungkin isohidris
Isohidris artinya pH larutan injeksi sama dengan pH
darah dan cairan tubuh lain, yaitu pH 7,4. Hal ini dimaksudkan agar bila
diinjeksikan ke badan tidak terasa sakit dan penyerapan obat dapat maksimal.
4.
Sedapat mungkin isotonis
Isotonis artinya mempunyai tekanan osmosa yang sama
dengan tekanan osmosa darah dan cairan tubuh yang lain, yaitu sebanding dengan
tekanan osmosa larutan natrium klorida 0,9. Pada sediaan obat suntik tidak diperbolehkan
adanya penambahan zat warna dengan maksud untuk memberikan warna pada sediaan
tersebut, kecuali bila obatnya memang berwarna.
5.
Steril
Suatu bahan dikatakan steril jika terbebas dari
mikroorganisme hidup yang patogen maupun yang tidak, baik dalam bentuk
vegetatif maupun dalam bentuk tidak vegetatif (spora).
6.
Bebas pirogen
Hal ini harus diperhatikan terutama pada pemberian
injeksi dengan volume besar, yaitu lebih dari 10 ml untuk satu kali dosis
pemberian. Injeksi yang mengandung pirogen dapat menimbulkan demam (Voight,
1995 dan Dra. Rr.Sulistiyaningsih, Apt).
PENGGOLONGAN
SEDIAAN INJEKSI
Menurut
USP, obat suntik dibagi dalam lima jenis yang secara umum didefinisikan sebagai
berikut:
1. Obat
larutan atau emulsi yang sesuai untuk obat suntik, disebut injection. (Contoh:
Insulin Injection)
2. Bubuk
kering atau larutan pekat, tidak mengandung dapar, pengencer atau zat tambahan
lain dan bila ditambah pelarut lain yang sesuai dengan pemberikan larutan yang
memenuhi semua aspek persyaratan untuk obat suntik disebut Sterile. (Contoh:
Sterile Ampicillin Sodium)
3.
Sediaan-sediaan seperti dijelaskan di nomor 2 kecuali bahwa mereka
mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau zat penambah lain disebut for
injection. (Contoh: Methicillin Sodium for Injection)
4.
Padatan yang disuspensikan di dalam media cair yang sesuai dan tidak
untuk disuntikkan intravena atau ke dalam ruang spinal disebut Sterile
Suspension. (Contoh: Sterile Cortisol Suspension)
5. Padatan kering, yang bila ditambahkan pembawa
yang sesuai menghasilkan sediaan yang memenuhi semua aspek persyaratan untuk
Sterile Suspension dan yang dibedakan dengan judul Sterile for Suspension.
(contoh: Sterile Ampicillin for Suspension) (Ansel, 1989 danDra.Rr.Sulistiyaningsih,
Apt).
Berdasarkan
cara pemberiannya, sediaan injeksi dapat digolongkan dalam beberapa jenis,
yaitu :
1.
Injeksi intraderma atau intrakutan
Injeksi
intrakutan dimasukkan langsung ke lapisan epidermis tepat dibawah startum
korneum. Umumnya berupa larutan atau suspensi dalam air, volume yang
disuntikkan sedikit (0,1-0,2 ml). Digunakan untuk tujuan diagnosa.
2.
Injeksi subkutan atau hipoderma
Injeksi
subkutan dimasukkan ke dalam jaringan lembut dibawah permukaan kulit. Jumlah
larutan yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Larutan harus sedapat mungkin
isotonis dan isohidris, dimaksudkan untuk mengurangi iritasi jaringan dan
mencegah terjadinya nekrosis (mengendornya kulit).
3.
Injeksi intramuskular
Injeksi
intramuskular dimasukkan langsung ke otot, biasanya pada lengan atau daerah
gluteal. Sediaannya biasa berupa larutan atau suspensi dalam air atau minyak,
volume tidak lebih dari 4 ml. Penyuntikan volume besar dilakukan dengan
perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
4.
Injeksi intravena
Injeksi
intravena langsung disuntikkan ke dalam pembuluh darah, berupa larutan isotoni
atau agak hipertoni, volume 1-10 ml. Larutan injeksi intravena harus bebas dari
endapan atau partikel padat, karena dapat menyumbat kapiler dan menyebabkan
kematian. Injeksi intravena yang diberikan dalam volume besar, umumnya lebih
dari 10 ml, disebut infus. Jika volume dosis tunggal lebih dari 15 ml, injeksi
intravena tidak boleh mengandung bakterisida dan jika lebih dari 10 ml harus
bebas pirogen.
5.
Injeksi intraarterium
Injeksi
intraarterium dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah perifer, digunakan
jika efek obat diperlukan segera. Umumnya berupa larutan, dapat mengandung
cairan non iritan yang dapat bercampur dengan air, volume 1-10 ml. Tidak boleh
mengandung bakterisida.
6.
Injeksi intrakardial
Dimasukkan
langsung ke dalam otot jantung atau ventrikulus, hanya digunakan untuk keadaan
gawat. Tidak boleh mengandung bakterisida.
7.
Injeksi intratekal atau subaraknoid
Injeksi
intratekal digunakan untuk menginduksi spinal atau lumbal anestesi dengan
menyuntikkan larutan ke ruang subaraknoid, biasanya volume yang diberikan 1-2
ml. Tidak boleh mengandung bakterisida dan diracik untuk wadah dosis tunggal.
8.
Injeksi intraperitonial
Disuntikkan
langsung ke dalam rongga perut. Penyerapannya cepat, bahaya infeksi besar
sehingga jarang dipakai.
9.
Injeksi intraartikulus
Injeksi
intraartikulus digunakan untuk memasukkan material seperti obat anti inflamasi
langsung ke luka atau jaringan yang teriritasi. Injeksi berupa larutan atau suspensi
dalam air.
10.
Injeksi subkonjungtiva
Larutan
atau suspensi dalam air untuk injeksi selaput lendir bawah mata, umumnya
tidak lebih dari 1 ml.
11. Injeksi intrasisternal dan peridual
Injeksi ini disuntikkan ke intrakarnial sisternal
dan lapisan dura dari spinalcord. Keduanya merupakan prosedur yang sulit dengan
peralatan yang rumit (Depkes RI, 1979 danDra.Rr.Sulistiyaningsih, Apt).